Ketika mendengar kata pengungsi, yang pertama kali terlintas di kepala banyak orang tentunya adalah para korban bencana alam yang mencari perlindungan ke tempat yang lebih aman untuk sementara waktu. Kenyataannya, istilah pengungsi sebenarnya tidak hanya berlaku bagi korban bencana alam tetapi juga bagi sekelompok orang yang meninggalkan negaranya karena merasa terancam dalam hal sosial, politik, agama, ras dan kebangsaan untuk mencari suaka/perlindungan ke negara lain. Dan mungkin banyak dari masyarakat Indonesia yang tidak menyadari keberadaan pengungsi asal negara-negara konflik Timur Tengah yang tinggal tersebar di beberapa kota dan menunggu untuk diberangkatkan ke negara penerima suaka.
Para pengungsi tersebut memang tidak akan tinggal menetap di Indonesia, nantinya mereka akan diberangkatkan ke negara pemberi suaka untuk menetap secara permanen. Akan tetapi, dibutuhkan proses dan waktu yang cukup lama sampai mereka mendapatkan negara yang mau menerima mereka. Selama transit di Indonesia, para pengungsi perlu beradaptasi dengan budaya dan kebiasaan masyarakat setempat, termasuk bahasa yang tentu saja berbeda dengan negara asalnya. Tinggal jauh dari negara asal bukanlah hal yang mudah bagi mereka. Jika bisa memilih tentunya mereka akan tetap tinggal di negaranya dengan kemudahan akses terhadap pekerjaan, fasilitas pendidikan, kesehatan, dll yang tidak mereka dapatkan di negara transit seperti Indonesia.
Keberadaan Roshan Learning Center yang berlokasi di Jakarta sebagai sekolah yang dikelola oleh pengungsi asal Afghanistan dan Iran cukup membantu para pengungsi dalam hal mendapatkan pendidikan. Roshan layaknya sekolah formal bagi para pengungsi, dimana mereka mendapatkan pelajaran seperti Matematika, Fisika, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, dll serta bertemu dan menjalin komunikasi dengan para pengungsi lainnya. Akan tetapi, hal ini tidaklah cukup karena mereka juga membutuhkan keterampilan lain yang tidak didapatkan di Roshan seperti keterampilan komunikasi dan penguasaan teknologi yang sudah menjadi kebutuhan dasar terutama di era globalisasi saat ini. Keterampilan tersebut diharapkan dapat membuka peluang bagi mereka untuk menjadi digital nomad di berbagai bidang pekerjaan seperti website developer, web content writer, programmer, online editor, freelance blogger, dll untuk memperoleh penghasilan berupa mata uang digital dengan memanfaatkan teknologi seperti blockchain. Hal ini tidak hanya bermanfaat bagi kehidupan para pengungsi selama transit di Indonesia, tetapi juga menjadi bekal bagi kehidupan barunya di negara ketiga nanti. Inilah yang melatarbelakangi Yayasan The Development CAFE dalam meluncurkan proyek “I AM” dan menjadikan Roshan sebagai mitra kerjasama.
Sebagai langkah awal dari proyek tersebut, DevCAFE mengadakan sebuah workshop mengenai metodologi penelitian yang berlangsung pada 5-6 Februari 2018 di Universitas Trisakti. Workshop ini bertujuan untuk memberikan pemahaman terkait kegiatan penelitian terutama proses pengumpulan data di lapangan sebagai bagian dari proyek “I AM”. Workshop ini diikuti oleh 31 orang yang terdiri dari 19 perwakilan staf, pengajar dan siswa dari Roshan Learning Center, 7 akademisi dari Universitas Trisakti, 2 perwakilan dari HELP, 2 perwakilan DevCAFE serta 1 perwakilan RAIC Indonesia. Dalam kegiatan ini para peserta juga banyak memberikan masukan terkait survei penelitian yang hasilnya akan digunakan untuk menganalisa jenis keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan para pengungsi sebagai dasar dalam menentukan kegiatan selanjutnya seperti training berupa workshop atau kursus online melalui kerjasama dengan perusahaan IT baik dari dalam maupun luar negeri.
Dalam tahap akhir, akan dilakukan analisa mengenai pekerjaan yang kira-kira cocok atau bisa dilakukan oleh para pengungsi dengan bekal training yang telah diberikan sebelumnya, dengan tetap memperhatikan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. Hal ini diharapkan dapat menjadi salah satu solusi bagi permasalahan yang dihadapi pengungsi dan membuka peluang bagi mereka untuk dapat bekerja secara online sehingga mereka menjadi lebih produktif karena bagaimanapun dengan ketidakpastian kapan akan diberangkatkan, mereka tentu membutuhkan biaya untuk hidup, tidak hanya bergantung pada bantuan dari UNHCR dan IOM yang jumlahnya terbatas.